Akhirnya, ibu ini menutup pintu dan jendela rumahnya. Ia tidak mau betemu dengan orang lain dan tidak mau pergi kemana-mana. Ia terus "menikmati" kesusahannya, sampai suatu ketika ada seorang sahabat karibnya datang mencarinya, karena lama tidak bertemu. Akhirnya, ia mengijinkan orang ini masuk. Orang ini lalu mengajak si ibu keluar. Karena mereka begitu akrab, maka ia setuju untuk pergi keluar.
Tanpa sepengetahuannya, ternyata ia diajak menemui orang-orang yang ditinggal mati oleh anak-anaknya. Di sana ada orang yang ditinggal mati oleh 4 orang anak, ada yang 3 orang anak, dan ada pula yang 8 orang anak. Ketika sampai kembali ke rumahnya, ia mulai sadar bahwa ia hanya kehilangan seorang anak. Sedikit demi sedikit ia pun mulai terlepas dari kesusahannya, dan peristiwa itu ternyata menjadi obat yang terbaik.
Jadi, obat yang terbaik adalah jangan menyendiri lalu membiarkan iblis menipu kita untuk "menikmati" kesusahan kita sampai-sampai menghujat Tuhan. Istilah "menikmati" kesusahan dipakai karena orang yang sedang berada di dalam penderitaan suka menyendiri dan tidak mau diganggu seolah-olah ia adalah orang yang paling susah. Di dalam susahpun ia ingin memonopoli, ia ingin menjadi orang nomor satu yang paling susah. Bukankah itu sama artinya dengan menikmati kesusahan?
Jiwa seperti itu adalah jiwa yang sudah dalam keadaan sakit keras, dan obat yang terbaik adalah pergi dan melihat orang yang lebih susah daripada dirinya sendiri, supaya ia mengerti bahwa ada banyak orang yang menanggung penderitaan yang lebih banyak daripada dirinya, dan melihat kesempatan untuk memberi kekuatan kepada mereka.